Industri game terus menerus diterpa kabar yang kurang mengenakkan akhir-akhir ini. Setelah beberapa studio game besar menyatakan tutup (baca dibawah, berita terkait), turunnya penjualan software dan console game di Amerika Serikat serta penurunan jumlah gamer di Amerika Serikat menjadi beberapa kabar yang kurang bahagia bagi industri game.
Beberapa faktor menjadi latar belakang perlambatan industri game.
Beberapa faktor menjadi latar belakang perlambatan industri game.
Faktor pertama adalah melemahnya ekonomi global, khususnya disebabkan oleh krisis moneter di Eropa. Kondisi ekonomi yang sulit ini menjadikan konsumsi game di dunia menurun dari waktu ke waktu. Masyarakat lebih memilih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan primer dibandingkan membeli console atau software game.
Faktor kedua adalah peristiwa gempa besar disertai tsunami di Jepang tahun lalu. Gempa tersebut menyebabkan krisis ekonomi yang semakin parah di Jepang. Banyak perusahaan di Jepang yang mengalami krisis saat ini (di antaranya adalah Sony dan Sharp), salah satunya disebabkan menurunnya tingkat konsumsi masyarakat Jepang.
Kedua faktor di atas menjadi penyebab menurunnya konsumsi game. Hal ini karena pasar terbesar game ada di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Karena ketiga wilayah tersebut mengalami krisis masing masing maka tak pelak kondisi tersebut turut mempengaruhi industri game.
Faktor ketiga yang tak kalah pentingnya adalah maraknya pembajakan software game. Ketika tiga wilayah di atas mengalami penurunan penjualan game harapan industri game sebenarnya ada pada China, India dan Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar. Namun sayangnya konsumen di negara tersebut lebih memilih menggunakan software bajakan dibandingkan membeli software asli. Mahalnya harga software dirasakan menjadi sebab gamer di tiga negara tersebut memilih versi bajakan. Hal itu tampak pada peringkat pembajakan di Indonesia pada per April 2012 mendapat peringkat ke sebelas berdasarkan data IDC, sebuah firma penelitian.
Faktor terakhir adalah beralihnya konsumen game dari perangkat console dan PC menuju perangkat mobile. Tak dipungkiri popularitas smartphone dan tablet mempengaruhi penurunan industri game inti (console gaming dan PC gaming) menjadi terhambat. Harga software yang relatif lebih murah dan faktor kepraktisan yang mobile game tawarkan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen game.
Faktor di atas jika tak segera ditemukan solusinya akan mengancam keberlangsungan industri game di dunia. Kehancuran berbagai perusahaan yang berkepentingan dalam industri game menjadi tak terhindarkan bila terus dilanda penurunan penjualan.
Lalu apa yang harus gamer Indonesia lakukan untuk turut serta mencegah terjadinya kehancuran industri game? Nampaknya Anda harus mulai belajar menggunakan software asli ketika bermain game. Karena gamer sendirilah yang dirugikan dengan turunnya industri game karena hancurnya industri game sama dengan turunnya output game baru.
Sony tutup studio pencipta seri Wipeout (berita terkait)
Sony memutuskan menutup salah satu studio game tertua di Inggris, Sony Liverpool. Keputusan ini diambil setelah serangkaian penilaian oleh Sony terhadap keberadaan unit usaha tersebut. Sony Liverpool dikenal sebagai developer Wipeout series.
Sony Liverpool berdiri sejak 1984, saat itu masih bernama Psygnosis. Pada tahun 1994, Sony membeli Psygnosis dan mengubah namanya menjadi Sony Liverpool. Saat ini Sony Liverpool mempekerjakan sekitar 100 pegawai.
Beberapa game yang pernah digarap oleh Psygnosis antara lain Lemmings pada konsol Atari ST, Shadow of the Beast pada konsol Commodore Amiga. Sejak berganti nama menjadi Sony Liverpool, seri game Wipeout merupakan salah satu game produksinya yang paling dikenal.
Sony memutuskan mengalihkan konsentrasi ke unit usaha yang lain. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan Sony yang terus menurun. Pengalihan konsentrasi pada unit usaha lain akan meringankan kinerja Sony sendiri.
Penutupan studio Liverpool sendiri menambah daftar negatif dalam dunia developer game. Popcap, developer game Plant vs Zombie, memutuskan memberhentikan 50 karyawannya di studio Seattle setelah proses akuisisi dari Electronic Arts. Popcap kemungkinan juga akan menutup studionya di Dublin yang mempekerjakan 100 orang. Developer asal Norwegia, Funcom, juga memutuskan pemberhentian karyawan untuk sementara waktu.
Sony Liverpool berdiri sejak 1984, saat itu masih bernama Psygnosis. Pada tahun 1994, Sony membeli Psygnosis dan mengubah namanya menjadi Sony Liverpool. Saat ini Sony Liverpool mempekerjakan sekitar 100 pegawai.
Beberapa game yang pernah digarap oleh Psygnosis antara lain Lemmings pada konsol Atari ST, Shadow of the Beast pada konsol Commodore Amiga. Sejak berganti nama menjadi Sony Liverpool, seri game Wipeout merupakan salah satu game produksinya yang paling dikenal.
Sony memutuskan mengalihkan konsentrasi ke unit usaha yang lain. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan Sony yang terus menurun. Pengalihan konsentrasi pada unit usaha lain akan meringankan kinerja Sony sendiri.
Penutupan studio Liverpool sendiri menambah daftar negatif dalam dunia developer game. Popcap, developer game Plant vs Zombie, memutuskan memberhentikan 50 karyawannya di studio Seattle setelah proses akuisisi dari Electronic Arts. Popcap kemungkinan juga akan menutup studionya di Dublin yang mempekerjakan 100 orang. Developer asal Norwegia, Funcom, juga memutuskan pemberhentian karyawan untuk sementara waktu.
Sumber : kaskus.co.id dan merdeka.com
Jadi untuk para pengembang game di dunia, tingkatkan terus kreatifitasmu dan jaga agar game di dunia tidak hancur dan hilang!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar